Rabu, 10 Agustus 2011

the meaning of life..??

Pernah suatu ketika, di saat bulan sudah mulai mencapai titik puncaknya di langit, ia, lelaki paruh baya yang mengenakan kemeja biru dongker dengan motif kotak-kotak dan celana dasar hitam, bertanya pada saya yang saat itu tengah duduk di bangku sebuah taman yang tentu saja sudah sunyi karena sudah larut. Dia menanyakan makna hidup pada saya. Aneh sekali lelaki ini, tentu saja seharusnya ia lebih mengerti daripada saya karena biar bagaimanapun ia sudah jauh lebih tua dari saya yang saat ini masih menapaki usia saya yang seperempat abad.

Ia berkata seperti ini, “hah, sudah setua ini saya masih terus mencari apa yang Tuhan inginkan dengan menghadirkan saya di dunia. Apa kau tau nak, mengapa dan untuk apa kamu ada dan masih ada sampai seumurmu yang sekarang ?” mungkin saya yang bodoh atau lelaki ini yang terlalu rumit cara berbicaranya. Sepertinya ia memutar-mutar pertanyaan untuk satu pertanyaan yang sebenarnya. “maksud bapak bagaimana ?” saya mencoba kembali mempertanyakan maksud pertanyaannya yang membuat saya mungkin tampak benar-benar bodoh. “hmm..” helanya sambil menatap langit yang mulai di selimuti awan-awan tipis menyamarkan sinar bulan.

“mudahnya saja. Saya hanya ingin tahu, apa kau menyadari apa arti keberadaanmu di dunia ini. Atau apa saja yang sudah kamu lakukan agar hidupmu bermakna” ucapnya sambil mengalihkan pandangannya ke saya. Baru sekali ini ada orang yang menanyakan hal seperti itu pada saya. Lalu saya tertunduk, mencoba mencari jawaban atas pertanyaannya. Hmm, ntahlah, sepertinya aku tau aku masih tak mengerti harus menjawabnya seperti apa, atau mungkin memang tidak tahu jawabannya.

“ntah lah pak. Saya sendiri belum menyadarinya. Hanya menjalankan yang menjadi rutinitas, namun terkadang juga tidak. Yah, contohnya seperti ini. Menikmati malam, berjalan tanpa arah, sekedar membuang waktu luang,” jawaban yang meracau menurut saya. “yah, tidak terlalu berbeda dengan saya di masa muda. Seolah memikirkan banyak hal, tapi ternyata satu saja yang pada akhirnya yang dilakukan. Hahaha. Semangat masa muda.”

Pembicaraan ini semakin aneh saja saya rasa. “lalu, apa bapak sudah mendapat jawaban atas pertanyaan bapak tentang arti hidup bapak ?” Tanya saya mencoba kembali ke topic awal pembicaraan. “haha, bisa dibilang saya sudah menemukan bisa juga tidak.” Jawabannya sungguh tidak menjawab pertanyaan yang saya ajukan. “maksud bapak ?” “begini. Maksud saya tentu saja arti hidup kita sebagaimana manusia diciptakan tentu mencoba menjadi yang terbaik bagi diri sendiri maupun orang lain. Membantu sesame dsb dsb seperti yang sudah kita pelajari sejak SD. Namun, memang terkadang tak semua orang bisa seperti itu.” Saya manggut-manggut saja seolah mengerti, walau masih terus saja mempertanyakan dalam hati apa maksudnya.

“saya tau, seharusnya saya sudah menjadi seseorang yang mempunyai arti untuk hidupnya. Namun kenyataannya tidak. Terlalu banyak masa muda yang saya habiskan hanya untuk melamunkan untuk apa dan bagaimana saya memaknai hidup. Sampai akhirnya, saya sadar dan tahu-tahu saya sudah setua ini. Saya terlalu memanjakan diri dalam aliran masa muda. Sehingga akhirnya terlewat begitu saja tanpa akhirnya membuat saya menjadi sosok yang berarti buat diri saya sendiri.” Ceritanya.

“kalau dalam sepenglihatan saya dari penampilan bapak, sepertinya bapak sudah menjadi pribadi yang berarti. Tentu bapak berasal dari keluarga berada dan sepertinya kehidupan bapak cukup nyaman.” “yah, mungkin memang tampak seperti itu, tapi tidaklah demikian adanya dalam pandangan saya. Yang saat ini saya rasakan justru seperti sebuah batu yang tergeletak di tengah jalan. Tak ada artinya, bahkan di pandang pun tidak. Hilang juga tak ada yang mencari. Hanya menyusahkan saja, membuat orang tersandung atau yang sejenisnya yang bisa melukai orang”

“tentu lah tidak seperti itu pak, Tuhan menciptakan kita tentu sudah ditetapkan perannya masing-masing. tak satupun demi sebuah kesia-siaan. Hanya saja kita tidak menemukan jawaban atas pertanyaan tentang keberadaan kita. Kitanya saja yang memikirkan seolah kita tak berharga.” Saya mencoba membesarkan hatinya, walau mungkin sebenarnya saya membesarkan hati saya. “yah,mungkin memang seperti itu. Hanya saja sepertinya semuanya terlambat untuk saya. Mungkin tidak untukmu yang masih muda. Percayalah, jangan sia-siakan masamu. Kita nggak akan tau kapan kita menyesal. Dan jangan sampai penyesalan itu terlalu terlambat tanpa sempat diperbaiki walau hanya sedikit perbaikan yang tak berarti.”

“tak ada kata terlambat pak, bagi bapak atau siapapun untuk memahami hidup. Hanya saja kita butuh membuka mata dan hati atas apa yang terjadi pada kita. Dan menjalaninya dengan baik. Agar tak menjadi beban bagi orang lain kelak. Bagi saya, saat ini, hidup adalah apa yang saya jalani selama saya tidak menjadi beban buat orang lain.” Perkataan saya mungkin lebih seperti menasehati, padahal tak sepantasnya saya yang masa hidupnya baru sebentar menasehati beliau yang tentu saja sudah jauh lebih berumur dan memiliki pengalaman yang lebih.

Lelaki itu lalu berdiri dan beranjak pergi. Mungkin ia marah saya berbicara seperti itu. Tapi ternyata ia berbalik dan mengembangkan senyumnya. “terima kasih nak untuk malam yang berarti. Saya harus kembali ke arti hidup saya. Keluarga.” Lalu ia berjalan menjauh. Lampu taman mulai meredup. Langit mulai cerah. Sepertinya malam sudah mulai diusik pagi. Satu malam yang penuh arti. Saya mengulum senyum lalu beranjak pergi dari bangku taman. Menyongsong matahari dan arti kehidupan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar